Bilal bin Said menyatakan: "Berapa banyak orang yang gembira justru terpedaya; makan, minum dan tertawa, padahal telah dipastikan dalam takdir Allah bahwa ia akan menjadi bahan bakar api neraka."
Aku membawa poci teh itu. Aku mulai merasa bahwa segala sesuatu bergerak dari tempatnya. Gelas-gelas seolah-olah berlari ke depan dan poci teh itu berbalik ke belakang. Namun aku memegang erat-erat nampan teh itu hingga berhasil kuletakkan. Saudaraku memanggil: "Mari ke sini."
Dengan lambat aku bergerak sambil malu-malu, malu karena grogi. Ketika aku duduk, tiba-tiba kedua mataku sudah berada di hadapan matanya!! Aku mulai menekan tanganku dan menggerak-gerakkan jari-jariku. Aku tidak merasakan sakit dan tidak merasakan apa saja yang ada di sekelilingku..
Mataku berkunang-kunang, detak jantungku bahkan terdengar dari jauh, sementara air mata menetes di kedua belah pipiku, mengaliri sungai dan lembat.
Pembicaraan saudaraku dan lelaki yang meminangku itu seputar cuaca di hari-hari ini, tentang hujan dan kebaikan-kebaikan lain. Ia juga bertanya kepadaku: "Bagaimana kabarmu?" Aku mendengar pertanyaan itu, tetapi seolah kehilangan jawabannya. Lidahku terasa kelu untuk berbicara, berubah menjadi beku. Aku memaksa lidahku bergerak. Aku katakan dengan suara yang tidak terdengar: "Alhamdulillah." Aku berfikir, sebaiknya aku berlari saja. Namun kedua kakiku justru berkata: "Jangan bergerak!!"
Ia memperhatikan kegugupan dan sikapku yang selalu diam. Ia mengarahkan pembicaraan kepada saudaraku. Aku menganggap itu kesempatan yang tidak datang untuk kedua kalinya. Lari!!
Beberapa saat kemudian, aku bernafas dengan terengah-engah. Aku meminum segelas air, dan segelas lagi..
Ketika saraf-sarafku sudah tenang, saudaraku bertanya: "Apakah semua ini karena malu?" Aku balik bertanya: "Bagaimana perasaanmu melihat pertama kali lelaki yang bukan mahrammu?"
Seminggu kemudian, tiba-tiba lelaki itu mengetuk pintu. Ayahku duduk bersamaku dan berbincang-bincang dengan lelaki itu. Kemudian lelaki tersebut menyerahkan maharnya.
Ayahku adalah orang yang tegas. Ia sudah banyak makan asam garam dalam persoalan dunia. Ia bertanya: "Apa ini wahai anakku?" Lelaki itu menjawab: "Itu mahar untuk kehormatan..." Ayahku mengejutkannya dengan pertanyaan: "Semua ini mahar? Akan digunakan untuk apa oleh anakku nanti?" Lelaki muda itu bingung menjawabnya. "Bisa digunakan untuk membeli pakaian dan perhiasan." Dengan lembut, ayahku berkata: "Ini saja maharnya." Ia mengambil sedikit dari uang itu, dan menyerahkan sisanya sambil berkata: "Cukup emas saja! Putriku tidak pernah tahu seluk beluk emas, engkau saja yang beli. Adapun pakaian, kami akan menyiapkan untuknya seadanya, kemudian kewajibanmu untuk memberinya pakaian. Wahai anakku! Wanita yang paling banyak berkahnya adalah yang paling ringan maharnya. Kami telah membelimu dari semua yang datang melamar. Artinya, kami telah mengutamakan dirimu dari semua lelaki yang datang. Jangan kecewakan keinginan kami pada dirimu. Kami menikahkanmu dengannya agar engkau memuliakannya dan menolongnya untuk taat kepada Allah dan berbuat kebaikan."
Segala urusan beres. Semua orang di rumah turut bergembira, termasuk di antaranya adalah aku sendiri.
Ia seorang lelaki yang sebagaimana diceritakan oleh saudaraku, tidak pernah meninggalkan senyumnya. Penampilannya menunjukkan kebaikannya. Tidak pernah meninggalkan shalat berjamaah, dan selalu berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Ia menggabungkan antara kebagusan akhlak dan agamanya..
Beberapa karakter yang cukup bagiku untuk memberitahukan kegembiraanku karenanya. Aku memuji Allah. Aku berkata kepada diriku sendiri masih banyak waktu tersisa. Namun ternyata aku harus memulai perjalanan Neraka. Perjalanan Neraka apa? Oh, perjalanan ke pasar.
Dahulu kami jarang sekali pergi ke pasar. Sekarang, urusan telah berubah. Setiap minggu, harus ke pasar. Untuk mengasah tekad kami, mengefisienkan waktu dan untuk dapat mengalkulasi pengeluaran. Kami harus menyiapkan malam pengantin.
Aku berfikir: "Kenapa kita tidak bersiap-siap seperti ini untuk menuju kubur?" Persiapan, cita-cita, habisnya waktu ayah dan saudaraku, bertanya ke sana ke mari tentang ini dan itu, berapa harganya?
Aku berkata kepada saudariku: "Kita harus mengatur diri kita dan waktu kita.." Aku menuliskan segala keperluanku dalam selembar kertas, kemudian kubagi-bagi sesuai tempat dan harinya..
Dengan cara demikian, aku bisa membatasi kemana aku pergi dan apa yang harus kubeli..
Aku tidak akan memulai kehidupan suami istri dengan banyak dosa dan kemaksiatan. Namun aku mencari taufik, tidak ragu lagi tentu dengan cara selalu taat kepada Allah dan mematuhi perintah-perintah-Nya...
Sekali pergi ke pasar, mungkin aku membeli banyak yang kuinginkan. Aku tahu kemana aku pergi dan apa yang akan aku beli, karena catatannya ada di tanganku..
Pada kali yang lain, aku pergi ke pasar. Ketika aku masuk ke tempat pembelian dan mengambil sebagian yang kuinginkan, tiba-tiba tempat itu menjadi penuh sesak. Beberapa wanita berada di pojok, di hadapan setiap penjual. Mereka semua sama, sama-sama sebagai putri-putri Islam. Tetapi segalanya sudah jelas, perbedaannya sudah tampak. Satu di antaranya terlihat rambutnya, yang satu lagi menampakkan wajahnya, yang satu lagi terdengar suara gelang kakinya di tempat itu. Aku berniat berbicara dengan wanita yang membuka wajahnya: Untuk siapa gerangan ia menampakkan perhiasannya? Tidakkah engkau takut terhadap siksa Allah? Wajahmu canik, bagaimana wajah itu akan tahan menghadapi api Neraka? Ingatlah bagaimana nanti bila engkau terbaring di dalam kubur!! Ingatlah hari dihadapkan di depan Allah nanti! Apa yang akan engkau katakan di hari penghisaban nanti?
Aku mengumpulkan kata-kataku, akan tetapi tempat itu terlalu sesak dan dipenuhi orang-orang belanja. Aku pun memilih untuk tidak memperdengarkan suaraku di hadapan laki-laki. Aku mencari lokasi tenang untuk menasehatinya. Aku berfikir untuk mencari waktu yang tepat. Namun tiba-tiba ada seorang lelaki yang memiliki tanda-tanda baik, ia bersama seorang wanita yang kemungkinan adalah istrinya atau saudara perempuannya...
Lelaki itu berbicara kepada wanita tadi: "Wahai saudariku, hendaknya engkau menutupi dirimu. Seandainya engkau menutupi wajahmu, itu lebih baik bagimu." Namun kulihat rasa malu sudah hilang dari wanita itu. Ia berkata keras: "Apa urusanmu?!"
Lelaki itu terdiam sebentar. Semua mata memandang kepada wanita itu. Kemudian lelaki itu berkata: "Wahai saudariku, ucapanmu itu berbahaya. Dikhawatirkan engkau akan kafir karenanya. Jangan engkau merasa bangga dengan perbuatan dosa. Bertaubatlah kepada Allah.."
Kemudian ia melemahkan suaranya dan berdoa: "Semoga Allah memberi petunjuk kepadamu." Lelaki itu pergi. Aku membayangkan kalau urusannya sudah beres setelah kepergiannya. Namun ternyata berbagai cacian dan kecaman mengiringi kepergiannya. Ini urusanku, apa urusannya?
Adapun aku, sibuk memikirkan ucapannya: "Khawatir engkau kafir." Apa alasannya?
Aku bertanya kepada saudaraku, dan ia berjanji akan memberiku jawaban nanti. Akan tetapi berlalu satu minggu, tidak ada juga jawabannya..
Aku bertanya pada diriku sendiri: "Apakah lelaki itu mengucapkan ucapannya itu dengan panas hatinya? Apakah layak seorang muslim yang memberikan nasehat untuk mengucapkan kalimat atas nama Allah yang tidak dia ketahui? Aku bertekad insya Allah dengan segala kemampuanku untuk mencari tahu persoalan itu. Aku bertanya dan bertanya, namun tidak juga mendapatkan jawaban yang memuaskan. Karena aku terlalu sibuk, aku lupa dengan persoalan itu, dan berhenti untuk bertanya-tanya.
Beberapa bulan setelah pernikahanku, kembali kata-kata itu terngiang di telingaku. Aku bertanya kepada suamikt. Suamiku menjawab: "Ucapannya benar. Aku pernah mendengarkan ucapan semacam itu, tetapi di mana aku tidak ingat."
Hari-haripun berlalu. Sehingga aku sempat membaca sebatar yang mampu kucari berkali-kali. Tiba-tiba aku mendapatkan hal yang mengejutkan. Dalam Hasyiah Ibni Abidin bahwa orang yang mengatakan "ini urusanku" ketika diberikan amar ma'ruf nahi munkar maka ia murtad. Aku juga membaca bahwa orang yang mengatakan "ini urusanku" ketika diberikan amar ma'ruf nahi munkar maka dikhawatirkan ia akan kafir. Aku mengulang membacanya sekal4 lagi dan bertanya kepada diriku sendiri: "Apakah sudah sampai kepada hal demikian kejahilan yang menimpa kaum muslimin sekarang ini sehingga mereka memerangi Allah dan Rasul-Nya? Lalu murtad dari Islam?
Sumber: Perjalanan Menuju Hidayah karya Abdul Malik Al-Qasim (penerjemah: Abu Umar Basyir), penerbit: Darul Haq, cet. 1, Ramadhan 1422 H / Desember 2001 M. Hal. 215-221.
Follow twitter @fadhlihsan untuk mendapatkan update artikel blog ini.
Baca juga:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar