mau ngiklan disini? klik gambar ini..

Jumat, 27 April 2012

Kapan Penuntut Ilmu Harus Taqlid?

menuntut ilmu


Berikut ini kami nukilkan beberapa fatwa Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin rahimahullah tentang permasalahan boleh tidaknya taqlid bagi seorang penuntut ilmu. Tanya jawab ini dimuat di dalam kitab beliau "Kitabul 'Ilmi", semoga bermanfaat.

Soal Ke14:
Syaikh Al-Utsaimin ditanya: Bagaimana arahan anda kepada para penuntut ilmu pemula, apakah ia taqlid kepada salah seorang imam ataukah boleh menyelisihinya?

Beliau rahimahullah menjawab:

Allah Azza wa Jalla berfirman,

"Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui." (Al-Anbiya': 7)

Jika seorang penuntut ilmu pemula belum mengetahui bagaimana caranya mengeluarkan dalil maka tiada yang bisa dia lakukan selain taqlid, baik taqlid terhadap orang terdahulu yang telah meninggal maupun kepada imam yang masih hidup -salah seorang ulama- lalu bertanya kepada ulama tersebut. Inilah cara terbaik. Namun jika tampak padanya bahwa ucapan itu menyelisihi hadits yang shahih maka ia wajib berpegang dengan hadits yang shahih itu.

Soal Ke-20:
Syaikh Al-Utsaimin ditanya: Banyak terlontar dari anak-anak muda yang shalih tentang tidak bolehnya berbuat taqlid (membebek). Mereka berpegang pada ucapan Ibnul Qayyim. Bagaimana komentar anda?

Beliau rahimahullah menjawab:

Pada hakekatnya saya mendukung pernyataan itu. Seseorang tidak merasa tenang (condong) pada perbuatan taqlid, sebab orang yang taqlid biasanya terjerumus pada kesalahan. Namun di samping itu, saya berpandangan agar kita tidak jauh dari ucapan para ulama terdahulu sehingga kita tidak tercerai berai lalu mengambil dari seluruh madzhab. Sebab kita jumpai saudara-saudara kita yang memungkiri taqlid, mereka terjerumus pada penyimpangan sampai mereka menyampaikan suatu pendapat yang belum pernah dicetuskan oleh seorangpun sebelum mereka. Apabila dalam keadaan darurat maka taqlid itu harus dilakukan. Berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala,

"Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui." (Al Anbiya': 7)

Allah Subhanahu wa Ta'ala mewajibkan untuk bertanya pada Ahlu Dzikr (ulama) apabila kita tidak mengetahui. Konsekuensinya adalah agar kita memegang ucapan mereka, kalau tidak demikian maka tiada gunanya bertanya kepada mereka. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Syaikhul Islam bahwa taqlid seperti halnya bangkai, jika engkau dalam keadaan terjepit maka makanlah bangkai itu, namun jika engkau tidak membutuhkan maka hukumnya haram.

Kapan pun manusia tertimpa suatu peristiwa dan ia tidak sanggup untuk mentelaahnya dalam kitab-kitab yang menyebutkan berbagai dalil, maka tidak memgapa baginya ketika itu untuk taqlid dengan syarat ia taqlid kepada orang yang ia nilai lebih dekat kepada kebenaran dalam hal keilmuan dan sifat amanahnya. Adapun selama ia masih memiliki kesanggupan untuk mengambil istimbat hukum dari Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam maka ia tidak boleh taqlid.

Soal Ke-61:
Syaikh Al-Utsaimin ditanya: Apakah seorang penuntut ilmu pemula mengawali proses belajarnya dengan mencari dalil-dalil ataukah dengan taqlid kepada salah seorang imam madzhab. Bagaimana arahan anda?

Beliau rahimahullah menjawab:

Penuntut ilmu pemula wajib mencari dalil sesuai dengan kapasitas kemampuannya karena yang dituntut adalah untuk bisa sampai pada dalilnya. Agar ia bisa mencapai proses pelatihan diri dalam mencari dalil-dalil dan metode pengambilan dalil tersebut, sehingga ia berjalan menuju Allah di atas bashirah (ilmu yang mantap) dan burhan (bukti). Ia tidak diperbolehkan bertaqlid kecuali dalam keadaan terdesak.

Sebagaimana halnya jika ia membahas (suatu masalah) lalu ia tidak sanggup untuk mencapai suatu hasil atau ia menghadapi kejadian yang menuntut proses yang segera (seketika itu juga), sedangkan ia tidak sanggup untuk mengetahui hukum dengan dalil-dalilnya sebelum kebutuhan pada hal tersebut terlewatkan, maka ketika itu ia boleh taqlid dengan niatan kapan pun nampak jelas dalil baginya maka ia merujuknya. Jika para pemberi fatwa (mufti) itu memfatwakan hal yang berbeda-beda, maka ada yang menyatakan ia diberi kelonggaran untuk memilih. Ada juga yang menyatakan ia bisa mengambil hukum yang lebih ringan karena hal itu selaras dengan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala,

"Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu." (Al-Baqarah: 185)

Ada yang menyatakan ia mengambil hukum yang lebih berat, karena hal itu adalah sikap yang lebih berhati-hati, sedangkan yang lainnya masih samar. Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,

"Barangsiapa yang menjauhi perkara-perkara syubhat (samar) maka sungguh ia telah menjaga agama dan kehormatannya." [1]

Pendapat yang paling kuat adalah ia mengambil pendapat yang paling dekat dengan kebenaran menurut dugaan kuatnya, karena keberadaan orang yang menyatakannya (pendapat yang dia ikuti itu) lebih berilmu dan lebih berhati-hati. Wallahu a'lam.

Soal Ke-104:
Syaikh Al-Utsaimin ditanya: Apa kewajiban orasng awam dan orang-orang yang tidak memiliki kemampuan untuk menuntut ilmu?

Beliau rahimahullah menjawab:

Orang yang tidak mempunyai ilmu dan kemampuan untuk berijtihad, hendaknya ia bertanya kepada ulama. Berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala,

"Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui." (Al-Anbiya': 7)

Allah tidak memerintahkan untuk bertanya kepada mereka melainkan agar mengambil ucapan mereka. Perbuatan ini adalah taqlid. Namun taqlid yang terlarang adalah beriltizam (konsisten pada madzhab tertentu saja), ia mengambil pendapat madzhab itu bagaimanapun kondisinya. Dan ia berkeyakinan bahwa hal itu adalah jalan menuju Allah. Lantas ia mengambil pendapat tersebut walaupun menyelisihi dalil.

Adapun orang yang memiliki kemampuan untuk berijtihad seperti penuntut ilmu yang telah memperoleh bagian ilmu yang banyak. Ia bisa bersungguh-sungguh mencari dalil lalu ia mengambil dalil yang ia pandang benar atau mendekati kebenaran. Adapun orang awam atau penuntut ilmu pemula, ia bisa mencurahkan kesungguhannya dalam taqlid kepada orang yang ia anggap lebih dekat pada al-haq dengan melihat kedalaman ilmu, kekuatan agama dan ke-wara'-annya.

Catatan kaki:
[1] HR. Al-Bukhari dalam Kitabul Iman Bab: Fadlu man Istabra'a li Dinih, dan Muslim dalam Kitabul Masaqah Bab: Akhdul Halal wa Tarkusy Syubuhat.

Sumber: Tuntunan Ulama Salaf dalam Menuntu Ilmu Syar'i oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin (penerjemah: Abu Abdillah Salim bin Subaid), penerbit: Pustaka Sumayyah, Pekalongan, hal. 129-130, 137-138, 187-188 dan 250.

Follow twitter @fadhlihsan untuk mendapatkan update artikel blog ini.



Baca juga:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar