mau ngiklan disini? klik gambar ini..

Kamis, 07 Juni 2012

Hukum Selamatan Mitoni

tumpeng


Pertanyaan: Apakah ada dasar hukum selamatan kehamilan, seperti 3 bulanan atau 7 bulanan (bahasa Jawa: Mitoni). Pada acara tersebut juga disertai dengan pembacaan diba’. Terus terang saya belum pernah membaca riwayat tentang selamatan seperti di atas pada masa Rasulullah. Mohon penjelasannya.
Cahyo.Prasongko@XXXX

Jawaban:


Selamatan kehamilan, seperti 3 bulanan atau 7 bulanan, tidak ada dalam ajaran Islam. Itu termasuk perkara baru dalam agama, dan semua perkara baru dalam agama adalah bid’ah, dan semua bid’ah merupakan kesesatan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ﻭَﺇِﻳَّﺎﻛُﻢْ ﻭَﻣُﺤْﺪَﺛَﺎﺕِ ﺍﻟْﺄُﻣُﻮﺭِ‏‎ ‎ﻓَﺈِﻥَّ ﻛُﻞَّ ﻣُﺤْﺪَﺛَﺔٍ ﺑِﺪْﻋَﺔٌ ﻭَﻛُﻞَّ‏‎ ‎ﺑِﺪْﻋَﺔٍ ﺿَﻠَﺎﻟَﺔٌ

“Jauhilah semua perkara baru (dalam agama), karena semua perkara baru (dalam agama) adalah bid’ah, dan semua bid’ah merupakan kesesatan.” (HR. Abu Dawud, no. 4607; Tirmidzi, 2676; Ad Darimi; Ahmad; dan lainnya dari Al ‘Irbadh bin Sariyah)

Kemudian, jika selamatan kehamilan tersebut disertai dengan keyakinan akan membawa keselamatan dan kebaikan, dan sebaliknya jika tidak dilakukan akan menyebabkan bencana atau keburukan, maka keyakinan seperti itu merupakan kemusyrikan. Karena sesungguhnya keselamatan dan bencana itu hanya di tangan Allah Subhanahu wa Ta’ala semata.

Allah berfirman:

ﻗُﻞْ ﺃَﺗَﻌْﺒُﺪُﻭﻥَ ﻣِﻦ ﺩُﻭﻥِ ﺍﻟﻠﻪِ‏‎ ‎ﻣَﺎ ﻻَ ﻳَﻤْﻠِﻚُ ﻟَﻜُﻢْ ﺿَﺮًّﺍ ﻭَﻻَ‏‎ ‎ﻧَﻔْﻌًﺎ ﻭﺍﻟﻠﻪُ ﻫُﻮَ ﺍﻟﺴَّﻤِﻴﻊُ‏‎ ‎ﺍﻟْﻌَﻠﻴِﻢُ

“Katakanlah: “Mengapa kamu menyembah selain daripada Allah, sesuatu yang tidak dapat memberi mudharat kepadamu dan tidak (pula) memberi manfa’at?” Dan Allah-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Qs. Al Maidah: 76)

Demikian juga dengan pembacaan diba’ pada saat perayaan tersebut, ataupun lainnya, tidak ada dasarnya dalam ajaran Islam. Karena pada di zaman Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat, diba' itu tidak ada.

Diba’ yang dimaksudkan ialah Maulid Ad Daiba’ii, buku yang berisi kisah kelahiran Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan pujian serta sanjungan kepada Beliau. Banyak pujian tersebut yang ghuluw (berlebihan, melewati batas). Misalnya seperti perkataan:

ﻓَﺠْﺮِﻱُّ ﺍﻟْﺠَﺒِﻴْﻦِ ﻟَﻴْﻠِﻲُّ‏‎ ‎ﺍﻟﺬَّﻭَﺁﺋِﺐِ * ﺍَﻟْﻔِﻲُّ ﺍﻟْﺄََﻧْﻒِ‏‎ ‎ﻣِﻴْﻤِﻲُّ ﺍﻟْﻔَﻢِ ﻧُﻮْﻧِﻲُّ ﺍﻟْﺤَﺎﺟِﺐِ‏‎ ‎‏*‏‎ ‎ﺳَﻤْﻌُﻪُ ﻳَﺴْﻤَﻊُ ﺻَﺮِﻳْﺮَ ﺍﻟْﻘَﻠَﻢِ‏‎ ‎ﺑَﺼَﺮُﻩُ ﺇِﻟﻲَ ﺍﻟﺴَّﺒْﻊِ ﺍﻟﻄِّﺒَﺎﻕِ‏‎ ‎ﺛَﺎﻗِﺐٌ *

Dahi beliau (Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam) seperti fajar, rambut depan beliau seperti malam, hidung beliau berbentuk (huruf) alif, mulut beliau berbentuk (huruf) mim, alis beliau berbentuk (huruf) nun, pendengaran beliau mendengar suara qolam (pena yang menulis taqdir), pandangan beliau menembus tujuh lapisan (langit atau bumi). (Lihat Majmu’atul Mawalid, hlm. 9, tanpa nama penerbit. Buku ini banyak dijual di toko buku-toko buku agama)

Kalimat “pendengaran beliau mendengar suara qolam (pena yang menulis taqdir)”, jika yang dimaksudkan pada saat mi’raj saja, memang benar, sebagaimana telah disebutkan di dalam hadits-hadits tentang mi’raj. Namun jika setiap saat, maka ini merupakan kalimat yang melewati batas. Padahal nampaknya, demikian inilah yang dimaksudkan, dengan dalil kalimat berikutnya, yaitu kalimat “pandangan beliau menembus tujuh lapisan (langit atau bumi)”.

Dan kalimat kedua ini juga pujian ghuluw (melewati batas). Karena sesungguhnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengetahui perkara ghaib. Yang mengetahui perkara ghaib hanyalah Allah Azza wa Jalla. Allah berfirman:

ﻗُﻞ ﻻَّ ﻳَﻌْﻠَﻢُ ﻣَﻦ ﻓِﻲ‎ ‎ﺍﻟﺴَّﻤَﺎﻭَﺍﺕِ ﻭَﺍْﻷَﺭْﺽِ ﺍﻟْﻐَﻴْﺐَ‏‎ ‎ﺇِﻻَّ ﺍﻟﻠﻪُ ﻭَﻣَﺎ ﻳَﺸْﻌُﺮُﻭﻥَ ﺃَﻳَّﺎﻥَ‏‎ ‎ﻳُﺒْﻌَﺜُﻮﻥَ

“Katakanlah: “Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah”, dan mereka tidak mengetahui bila mereka akan dibangkitkan.” (Qs. An Naml: 65)

‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, pernah menerima tuduhan keji pada peristiwa “haditsul ifk”. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengetahui kebenaran tuduhan tersebut, sampai kemudian turun pemberitaan dari Allah dalam surat An Nuur yang membersihkan ‘Aisyah dari tuduhan keji tersebut. Dan buku Maulid Ad Daiba’ii berisi hadits tentang Nur (cahaya) Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang termasuk hadits palsu.

Dalam peristiwa Bai’atur Ridhwan, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengetahui hakikat berita kematian Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu, sehingga terjadilah Bai’atur Ridhwan. Namun ternyata, waktu itu Utsman radhiyallahu ‘anhu masih hidup. Bahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan Rasul-Nya untuk mengumumkan:

ﻗُﻞ ﻵﺃَﻗُﻮﻝُ ﻟَﻜُﻢْ ﻋِﻨﺪِﻯ‎ ‎ﺧَﺰَﺁﺋِﻦُ ﺍﻟﻠﻪِ ﻭَﻵﺃَﻋْﻠَﻢُ ﺍﻟْﻐَﻴْﺐَ

“Katakanlah: “Aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak (pula) aku mengetahui yang ghaib.” (Qs. Al An’am: 50)

Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, bagaimana mungkin seseorang boleh mengatakan “pandangan beliau menembus tujuh lapisan (langit atau bumi)”?

Semoga jawaban ini cukup bagi kita. Kesimpulan yang dapat kita ambil, bahwa selamatan kehamilan dan pembacaan diba’ termasuk perbuatan maksiat, karena termasuk bid’ah.

[Sumber: bukhari.or.id]

Sumber url: Konsultasisyariah.com

NB: Afwan jika susunan font Arab-nya kacau karena artikel ini diposting melalui ponsel, silakan merujuk pada sumber. (Admin Blog)

Baca juga:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar