Oleh: Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Ali Bassam
Sebenarnya perbudakan dahulu telah tersebar ke seluruh penjuru dunia, tidak hanya pada zaman Islam. Bangsa Romawi, Persia, Babilonia dan Yunani seluruhnya mengenal perbudakan. Dan para tokoh Yunani, seperti Plato dan Aristoteles juga mengakuinya.
Bahkan mereka memiliki banyak sebab untuk memperbudak seseorang, seperti adanya perang, tawanan, penculikan atau karena menjadi pencuri. Tidak hanya itu, merekapun menjual anak-anak yang menjadi tanggungan mereka untuk dijadikan budak, bahkan sebagian mereka menganggap para petani sebagai budak belian.
Mereka memandang hina terhadap para budak, karena itu para budak dipekerjakan untuk mengurusi pekerjaan-pekerjaan kotor dan berat. Dan karena itu pula Aristoteles menganggap para budak hidupnya tidak kekal di akhirat, baik mereka di surga atau di neraka, jadi para budak tidak bedanya dengan hewan.
Fir’aun pun memperbudak Bani Israil dengan perlakuan yang paling keji, sehingga dengan tega ia membunuh anak laki-laki Bani Israil dan membiarkan hidup anak-anak perempuan mereka. Orang-orang Eropa pun ketika menemukan benua Amerika, mereka memberikan sikap yang paling buruk terhadap penduduk asli.
Begitulah perbudakan dengan sebab dan pengaruh-pengaruhnya yang sudah menyebar luas di luar Islam. Kami hanya bisa menyajikan sedikit gambaran dari keburukan dan kebiadaban sikap mereka terahadap para budak.
Sekarang marilah kita perhatikan pandangan Islam terhadap perbudakan.
1. Islam Mempersempit Sebab-sebab Perbudakan
Islam menyatakan bahwa seluruh manusia adalah merdeka dan tidak bisa menjadi budak kecuali dengan satu sebab saja, yaitu orang kafir yang menjadi tawanan dalam peperangan. Dan panglima perang memiliki kewajiban memberikan perlakuan yang tepat terhadap para tawanan, bisa dijadikan budak, meminta tebusan atau melepaskan mereka tanpa tebusan. Itu semua dipilih dengan tetap melihat kemaslahatan umum.
Inilah satu-satunya sebab perbudakan di dalam Islam berdasarkan dalil naqli yang shahih yang sesuai dengan dalil aqli yang shahih. Karena sesungguhnya orang yang berdiri menghalangi aqidah dan jalan dakwah, ingin mengikat dan membatasi kemerdekaan serta ingin memerangi maka balasan yang tepat adalah ia harus ditahan dan dijadikan budak supaya memperoleh kesempatan mendengar dan mengetahui dakwah.
Inilah satu-satunya sebab perbudakan dalam Islam, bukan dengan cara perampasan manusia, ataupun menjual orang merdeka dan memperbudak mereka sebagaimana bangsa-bangsa yang lain.
2. Islam Menyikapi Para Budak dengan Lemah Lembut dan Penuh Kasih Sayang.
Karena itu Islam mengancam orang yang memberikan beban berlebihan kepada para budak, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Bertaqwalah kalian kepada Allah dan perhatikanlah budak-budak yang kalian miliki.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Budak memiliki hak makan/lauk dan makanan pokok, dan tidak boleh dibebani pekerjaan yang diluar kemampuannya.”
Bahkan Islam mengangkat derajat mereka dari sekedar budak menjadi saudara bagi tuan mereka, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Mereka (para budak) adalah saudara dan pembantu kalian yang Allah jadikan di bawah kekuasaan kalian, maka barangsiapa yang memiliki saudara yang ada di bawah kekuasannya, hendaklah dia memberikan kepada saudaranya makanan seperti yang ia makan, pakaian seperti yang ia pakai. Dan janganlah kamu membebani mereka dengan pekerjaan yang memberatkan mereka. Jika kamu membebani mereka dengan pekerjaan yang berat, hendaklah kamu membantu mereka.”
Islam tidak hanya meninggikan derajat mereka dalam masalah sikap yang harus diberikan, akan tetapi juga di dalam berbicara dengan mereka, sehingga mereka tidak merasa rendah diri, karena itu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Janganlah salah seorang di antara kalian mengatakan : “Hai hamba laki-lakiku, hai hamba perempuanku,” akan tetapi katakanlah, “Hai pembantu laki-lakiku, hai pembantu perempuanku.”
Bukan hanya itu, Islam bahkan tidak menjadikan nasab atau atau jasad/tubuh sebagai standar kemuliaan seseorang di dunia dan di akhirat, namun kecakapan dan nilai maknawilah standar kemuliaan manusia.
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah orang-orang yang paling bertaqwa.” (Al-Hujurat : 13)
Karena itu, berbekal ilmu dan kemampuan yang dimiliki, beberapa bekas budak dapat menyamai kedudukan tuannya, baik dengan menjadi panglima perang, pemimpin umat, hakim atau jabatan-jabatan agung yang lainnya. Ini semua karena kemampuan mereka yang merupakan sumber kemuliaan.
Di samping mengangkat derajat mereka, syari’at juga mengawasi dan memperhatikan pembebasan budak dengan cara mendorong perbuatan tersebut dan menjanjikan keselamatan dari api neraka serta keberuntungan dengan masuk surga bagi seorang yang membebaskan budak. Seperti hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim,
“Barangsiapa membebaskan budak yang muslim niscaya Allah akan membebaskan setiap anggota badannya dengan sebab anggota badan budak tersebut, sehingga kemaluan dengan kemaluannya.”
Cukuplah di dalam keutamaan membebaskan budak, hadits shahih di atas dan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi dari Abu Umamah dan sahabat yang lain,
“Siapa saja seorang muslim yang membebaskan seorang budak yang muslim, maka perbuatannya itu akan menjadi pembebas dirinya dari api neraka.”
Hadits dan atsar yang mendorong untuk mebebaskan budak banyak sekali, dan tidak ada perbuatan baik yang lebih besar daripada membebaskan seorang muslim dari perbudakan. Karena dengan kemerdekaan dirinya sempurnalah derajat kemanusiaan yang ia miliki setelah dahulunya berstatus seperti hewan.
Kemudian Islam memiliki beberapa sebab kemerdekaan seorang budak, baik merdeka secara terpaksa atau merdeka secara ikhtiari (yakni -wallahu a'lam- dengan menebus dirinya, -admin).
Jalan merdeka secara paksa adalah:
a. Barangsiapa melukai tubuh budaknya maka ia wajib membebaskan budaknya tersebut. Sebagaimana dalam sebuah hadits yang mengisahkan adanya seorang tuan yang memotong hidung budaknya, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada budak itu:
“Pergilah engkau karena sekarang engkau orang yang merdeka,” maka budak itu berkata, “Ya Rasulullah saya ini maula (budak) siapa?” Beliau menjawab: “Maula Allah dan Rasul-Nya."
b. Seorang budak dimiliki oleh beberapa orang, lalu salah seorang pemilik membebaskan bagiannya, maka pemilik tadi harus membebaskan bagian sekutunya secara paksa. Sebagaimana dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari,
“Barangsiapa membebaskan bagiannya dari seorang budak, maka ia wajib membebaskan seluruhnya.”
Dalam hal ini perlu ada rincian yang memerlukan pembahasan tersendiri.
c. Barangsiapa memiliki budak yang ternyata masih kerabat dekatnya maka wajib atas pemiliknya untuk membebaskan secara terpaksa. Berdasarkan hadits,
“Barangsiapa memiliki budak yang termasuk kerabatnya bahkan mahramnya maka budak itu merdeka.”
Inilah sebab-sebab secara terpaksa yang menghilangkan hak milik tuan terhadap budaknya. Sebab-sebab terpaksa ini disyari’atkan karena adanya rahasia syar’iyah dan pengaruh khusus sehingga syari’at tidak menjadikannya sebagai sebab pilihan atau sebab yang bisa dirujuk/dibatalkan.
Di samping mendorong untuk membebaskan budak, syari’at juga menjadikan pembebasan budak sebagai kafarah pertama untuk selamat dari dosa-dosa, pembebasan budak sebagai alternatif pertama untuk kafarah bersetubuh di siang bulan Ramadhan, zhihar (seorang suami mengatakan kepada istrinya bahwa punggungnya seperti punggung ibunya, yakni suami tidak mau menggauli istrinya, -red) dan membunuh secara tidak sengaja.
Islam Agama Kemuliaan, Keagungan dan Keadilan
Setelah keterangan di atas, bagaimana mungkin orang-orang Barat atau orang yang ke barat-baratan mencela sikap Islam terhadap masalah perbudakan. Kemudian mereka membuka mulut lebar-lebar serta meneriakan kemerdekaan dan hak asasi manusia, sedangkan merekalah yang memperbudak rakyat dan menghinakan banyak bangsa. Mereka memperbudak bangsa lain di tengah-tengah bangsa itu sendiri, merampas harta benda dan menghalalkan negeri untuk di jajah. Mereka mengangkat kepala untuk meneriakan HAM (hak asasi manusia) sedangkan mereka sendiri menyikapi golongan masyarakat di dalam negeri mereka lebih rendah dari pada cara bergaul dengan budak.
Di manakah keadilan Islam dibandingkan dengan sikap orang-orang Amerika terhadap orang-orang Negro dengan adanya larangan masuk sekolah, menjabat atau bekerja sebagai pegawai negeri? Seolah-olah mereka menganggap orang-orang Negro sama dengan hewan.
Dan dimanakah “ihsan” dan rasa santun Islam dibandingkan dengan tindakan orang-orang Barat kepada para tahanan yang kini masih terdapat di dalam penjara yang gelap, padang belantara dan tempat-tempat yang tidak dikenal (di daerah pembuangan)?
Di manakah negeri Islam yang penuh cinta kasih sayang yang memberikan keadilan kepada seluruh penduduknya dari berbagai jenis strata sosial, agama dan ras sebagai bangsa dalam hak dan kewajiban, bila dibandingkan dengan perbuatan kriminal orang-orang Prancis terhadap manusia-manusia merdeka di Aljazair, di tengah-tengah negeri mereka sendiri dan di tengah-tengah bangsa mereka sendiri. Nyatalah sudah bahwa tuduhan yang mereka kumandangkan adalah tuduhan palsu/bathil.
Setelah keterangan ini, apakah belum tiba saatnya bagi para reformis dan pecinta perdamaian untuk membuka mata mereka kemudian kembali kepada ajaran Islam dengan penuh perenungan dan kesadaran, sehingga mereka menjadi sadar akan kebahagiaan manusia dalam ajaran Islam, baik untuk saat ini atau masa yang datang.
TAMBAHAN
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata dalam Syarh Al-Aqidah Al-Washitiyah juz 1 hal. 229-230 takhrij Sa’ad bin Fawwaz Ash-Shomil cet II Dar Ibnu Jauzi : “Di sini kamu wajib mengingatkan perbuatan sebagian orang yang menggantikan (istilah) keadilan dengan persamaan. Ini merupakan kesalahan, keadilan tidak boleh dikatakan persamaan, karena kata persamaan terkadang menuntut adanya persamaan antara dua hal yang seharusnya dibedakan.
Karena seruan yang tidak adil ini (ajakan kepada persamaan) mereka berkata : “Apakah perbedaan laki-laki dengan perempuan? Samakanlah laki-laki dengan perempuan?” Sampai-sampai orang –orang Komunis mengatakan : “Apakah perbedaan antara pemerintah dengan rakyat, tidak mungkin orang bisa menguasai orang lain meskipun orang tua dengan anak, orang tua tidak mungkin mempunyai kekuasaan terhadap anak.” Demikian seterusnya..!
Akan tetapi jika kita mengatakan “Keadilan” yang maknanya memberikan hak kepada setiap orang yang memiliki hak tersebut, niscaya hilanglah bahaya (dari istilah persamaan) ini dan (kalimat yang) diungkapkan akan menjadi selamat dari makna yang batil.
Karena itu selamanya tidak ada di dalam Al-Qur’an ayat yang berbunyi: “Sesungguhnya Allah memerintahkan persamaan.” Tetapi yang ada adalah:
“Sesungguhnya Allah memerintahkan keadilan.” (An-Nahl : 90)
“Dan jika engkau menghukumi manusia maka hukumilah dengan adil.” (An-Nisa : 58)
Maka orang yang mengatakan “Islam adalah agama persamaan” telah salah, akan tetapi yang benar adalah "Islam adalah agama keadilan”, yang bermakna menyamakan perkara yang sama dan memisahkan perkara-perkara yang berbeda.
Jika yang dia maksudkan dengan persamaan adalah makna keadilan di atas tetapi dia menggunakan istilah persamaan, maka orang ini salah dalam memilih kata/istilah walaupun yang dimaksud benar.
Karena itu mayoritas ayat Al-Qur’an meniadakan persamaan seperti :
“Katakanlah : Adakah orang yang mengetahui sama dengan orang yang tidak mengetahui?” (Az-Zumar : 9)
“Adakah orang yang buta sama dengan orang yang melihat? Ataukah kegelapan-kegelapan sama dengan sebuah cahaya?” (Ar-Rad : 16)
“Tidaklah sama orang yang berinfaq dan berperang sebelum datangnya kemenangan (Fathu Makkah), mereka lebih besar derajatnya dari pada orang yang berinfaq dan berperang sesudah kemenangan-kemenangan (Fathu Makkah).” (Al-Hadid : 10)
“Tidaklah sama antara mukmin yang duduk (tidak turut berperang) yang tidak memiliki udzur dengan orang yang berjihad di jalan Allah.” (An-Nisa : 95)
Dan selamanya tidak ada satu huruf pun dalam Al-Qur’an yang memerintahkan persamaan, yang ada hanyalah ayat yang memerintahkan keadilan, dan kata keadilan lebih diterima oleh jiwa.
Saya mengingatkan hal ini, supaya omongan kita tidak seperti ocehan burung beo, karena sebagian manusia meniru ucapan orang lain tanpa perenungan, tanpa dipikirkan apa isinya, siapa yang membuatnya dan apa maksud kata tersebut menurut orang yang membuatnya.”
Syaikh Abu Bakar Al-Jazairy berkata dalam Minhajul Muslim hal. 459 : “Jika ada orang yang bertanya : “Mengapa Islam tidak mewajibkan pembebasan budak, sehingga seorang muslim tidak memiliki alternatif lain dalam hal ini?
Jawaban: Sesungguhnya Islam datang pada saat perbudakan telah tersebar di mana-mana, karena itu tidaklah pantas bagi syari’at Islam yang adil, yang menjaga jiwa, harta dan kehormatan seseorang manusia untuk mewajibkan kepada manusia agar membuang harta mereka secara sekaligus. Sebagaimana juga, banyak budak yang tidak layak untuk dimerdekakan, seperti anak-anak kecil, para wanita, dan sebagian kaum laki-laki yang belum mampu mengurusi diri mereka sendiri dikarenakan ketidakmampuan mereka untuk bekerja dan dikarenakan ketidaktahuan mereka tentang cara mencari penghidupan.
Maka (lebih baik) mereka tetap tinggal bersama tuannya yang Muslim yang memberi mereka makanan seperti yang dimakan tuannya, memberi mereka pakaian seperti yang dipakai tuannya, dan tidak membebani mereka pekerjaan yang tidak sanggup mereka kerjakan. Ini semua adalah beribu-ribu derajat lebih baik dari pada hidup merdeka, jauh dari rumah yang memberi mereka kasih sayang dan jauh dari perbuatan baik kepada mereka untuk kemudian menuju tempat yang menyengsarakan laksana neraka jahim.
Kesimpulan
Dari penjelasan di atas penerjemah menyimpulkan beberapa hal sebagai berikut.
1. Perbudakan saat ini masih diakui oleh Islam.
2. Syarat untuk diperbudaknya seseorang manusia adalah :
a. Kafir (non Muslim)
b. Menjadi tawanan kaum muslimin
c. Ditawan karena peperangan
d. Panglima perang muslim tidak memberikan alternatif lain kepada orang tersebut.
3. Islam menilai sorang budak sebagai saudara bagi lainnya.
4. Di sisi lain, Islam mengusahakan kemerdekaan seorang budak dengan beberapa jalan, baik secara paksa maupun sukarela atau sebagai kafarat (penebus) dosa.
(Diterjemahkan oleh Aris Munandar bin S Ahmadi Al-Lampunji)
Sumber: Majalah As-Sunnah edisi 03/V/1421 H - 2001 M.
Follow twitter @fadhlihsan untuk mendapatkan update artikel blog ini.
Baca juga:
Rajin posting. Blognya PR berapa?
BalasHapus