mau ngiklan disini? klik gambar ini..

Senin, 13 Agustus 2012

[kisah nyata] Air Mata Taubat di Penghujung Ramadhan

perjalanan manusia


Ketika sang pemuda tengah bersukaria, bergembira dengan hasil usahanya, tiba-tiba terdengar: sang pemuda kini sedang sakit Tiba-tiba terdengar: ia tidur semalaman setelah sebelumnya selalu terjaga Tiba-tiba terdengar kabar: ia sudah sakit dan tak ada harapan baginya Tiba-tiba terdengar: pagi itu ia sudah melotot dan diarahkan wajahnya Setelah sakit, tiba-tiba terdengar kabar: ia kini telah tiada..

Hari-hari sepuluh terakhir bulan Ramadhan mulai berakhir. Ied tinggal satu atau dua jengkal lagi.

Aku tidak tahu kemana kami akan pergi sementara aku sedang menunggu teman masa kecilku. Akan tetapi sebagaimana sudah menjadi kebiasaan, sebagian besar waktu kami pada malam hari kami habiskan untuk keliling ke pasar-pasar, tempat-tempat ramai dan jalan-jalan...

Ketika aku sudah duduk di bangku mobil di samping Abdurrahman, ia bertanya kepadaku: "Apa engkau telah mempersiapkan baju baru? Hari Ied akan datang menjelang." Aku menjawab: "Belum." "Bagaimana pendapatmu kalau kita pergi ke tukang jahit sekarang?" tanyanya. Aku menggeleng-gelengkan kepala merasa heran. Aku bertanya kepadanya: "Tinggal tiga atau empat hari lagi sudah Ied, di mana kita bisa mendapatkan tukang jahit yang dapat berlomba dengan kedatangan Ied dan menyingkat waktu?" Keheranan dan keterkejutanku sama sekali tidak menarik perhatiannya.

Ia membawa mobilnya dengan kencang hingga tiba di depan penjahit yang sudah dikenalnya sejak lama. Ia berkata kepada penjahit itu: "Kami ingin bergembira di hari Ied dan kami ingin memakai pakaian baru!!" Lelaki itu tertawa dan menjawab sambil mengangkat bahunya, "Berapa hari lagi akan datang Ied, kenapa tidak datang lebih awal?"

Abdurrahman menjawab sambil mengibaskan tangannya penuh arti: "Akan kami tambah ongkosnya. Yang penting, lusa harus sudah selesai..!!" Ia mengulangi lagi perjanjian itu: "Pokoknya lusa."

Aku melihat tampaknya orang itu keberatan menerimanya. Tetapi temanku itu langsung membayar sebagian ongkosnya dan terus mengulang-ulang: "Lusa harus selesai. Jangan lupa."

Hingga mendekati waktu fajar, kami terus bersenang-senang, lupa dan lalai. Satu malam suntukpun berlalu, tanpa berdzikir kepada Allah walau hanya sekali, padahal bisa jadi malam itu adalah malam Lailatul Qadar..

Hidup tanpa rasa dan kebahagiaan tanpa aroma... Kami melalui segala pintu maksiat, menyingkap semua tabirnya. Kami menyangka bahwa semua itu tidak akan dihisab; selalu tampak bergembira dan bersenang-senang. Tawa ria memenuhi tempat itu. Namun dalam hati terdapat kedukaan dan kesedihan. Sementara jiwaku terbang berputar-putar oleh kesenduan dan kesuraman..

Kami berpisah sebelum fajar menyingsing, setelah sebelumnya kami begadang dan berhura-hura, bertemu dan berkumpul dalam kemaksiatan dan dosa. Kami tidur lama sekali, dari mulai Fajar hingga datang waktu Ashar. Puasa, tetapi tidak shalat, dan kalaupun shalat, tanpa menghadirkan hati...

Satu jam berpuasa kala sudah terbangun dari tidur untuk menunggu Maghrib saja terasa berhari-hari. Aku mengisinya dengan bermain-main telepon, atau membaca koran dan majalah...

Aku menanti datangnya adzan Maghrib sambil mengobrol dengan salah seorang temanku melalui pesawat telepon. Namun suaranya berubah: "Apakah engkau belum mendengar, bahwa Abdurrahman jatuh sakit?" "Belum." jawabku. "Kemarin sore ia masih sehat wal afiat." "Sekarang ia betul-betul sakit." katanya lagi..

Pembicaraanpun terputus. Hal itu tidak berarti apa-apa bagiku, selain kabar yang menurutku tidak benar. Muadzin mengumandangkan suaranya untuk shalat Isya. Tiba-tiba suara telepon memanggilku. Ternyata kakak Abdurrahman yang terbesar. Aku bertanya kepada diriku sendiri: "Apa yang diinginkan? Apakah ia akan menanyakan aku tentang apa yang kuperbuat bersama Abdurrahman di malam itu? Atau ada orang yang memberitahukan kesalahan dan kekeliruan kami?

Tetapi yang terdengar adalah suaranya yang terdengar resah dan terengah-engah. Ucapannya terputus-putus. Ia memberitahukan kepadaku, bahwa Abdurrahman sudah meninggal dunia..

Aku terbungkam, tidak percaya sama sekali. Aku seolah-olah masih melihatnya di hadapanku. Suaranya masih terngiang di telingaku. Bagaimana ia bisa meninggal dunia?

Ketika pulang ke rumah, mobilnya bertabrakan dengan mobil lain, kemudian ia diangkut ke rumah sakit dan ruhnya melayang pada Zhuhur hari ini.

Telingaku seolah-olah tidak mempercayai apa yang kudengar. Aku seolah-olah masih melihatnya di hadapanku. Iya, di hadapanku. Bahkan hari ini kami punya janji untuk pergi ke pasar anu. Bahkan besok, janjinya pakaian kami sudah akan selesai dijahit..

Akan tetapi suaranya menyadarkan diriku dari ketidaksadaran, menghilangkan kealpaan yang menutupi pandanganku: "Besok Zhuhur kami akan menyalatkannya. Beritahu teman-temanmu!!"

Pembicaraanpun terputus... Aku akhirnya yakin bahwa kejadian itu memang nyata, bukan main-main. Hari-hari Abdurrahman memang sudah berakhir. Aku pun percaya bahwa kejadian itu benar adanya dan bahwa kematian itu memang benar adanya, dan bahwa pertemuan kami nanti adalah di alam kubur, bukan di penjahit!! Ia sudah dikenakan kain kafan, tidak sempat lagi memakai baju baru lebaran!!

Malam itu aku tidak bisa tidur. Pikiranku sungguh kacau, kepalaku juga terasa pusing. Aku memutuskan untuk pergi ke rumah Abdurrahman untuk menyelidiki masalahnya dan memperjelas berita yang menyakitkan itu...

Ketika aku mengendarai mobil, tiba-tiba dalam tape recorder kutemukan kaset lagu. Aku segera mengeluarkannya. Terdengarlah suara Imam Al-Haram dari radio membuat semerbak tempat itu dengan kekhusyuan dan kemerduan suaranya. Seluruh anggota tubuhku mendengarkannya. Pendengaranku tunduk, seolah-olah dunia sudah terbalik dan hari Kiamat sudah datang. Manusia sudah berubah. Aku meminggirkan mobilku dan mendengarkannya, sekali lagi mendengarkannya. Seolah-olah baru pertama kali ini aku mendengarkan Al-Qur'an. Ketika mulai doa qunut, seolah-olah air mataku berderai lebih cepat dari suara Imam. Aku mengangkat tanganku untuk mengusap air mata. Sementara hatiku terus mengulang-ulang pantulan kalimat-kalimat itu. Kilatan cita-cita membias di belakang air mata tersebut.

Aku memaklumkan taubatku yang tulus. Aku mulai bersahabat dengan orang-orang baik dan teman-teman yang shalih... Orang yang selama ini kubenci, menjadi orang yang paling kucintai. Orang yang selama ini aku ejek, sekarang menjadi orang yang paling tinggi derajatnya di hadapan mataku. Orang yang selama ini kuhina, menjadi orang yang paling mulia di sisiku. Dahulu aku sudah berada di pinggiran jurang Neraka. Aku mulai melongok kebahagiaan yang selama ini tidak kukenal. Hatiku terasa lapang, sementara mataku membayangkan ketenangan, kewibawaan dan keteguhan...

Aku datang dengan tiba-tiba ke tukang jahit itu dan langsung menanyakan pakaian baruku. Ia balik bertanya tentang Abdurrahman. Aku katakan bahwa ia sudah meninggal dunia. Ia mengulangi nama yang ditanyakan tadi. Kembali kujawab: "Sudah meninggal dunia." Ia mulai menggambarkan kepadaku bentuk orang yang ditanyakan itu, mobilnya dan gaya bicaranya. Tetap kujawab: "Iya dia yang sudah meninggal dunia." Ketika ia memperlihatkan kepadaku pakaian baruku, kembali ia bertanya: "Apakah betul-betul ia sudah meninggal dunia?"

Pakaianku berada di samping pakaiannya. Tempat dudukku di mobil juga di sebelah tempat duduknya. Namun bedanya, ia sudah tiada sementara aku masih memiliki sisa umur yang mudah-mudahan bisa kugunakan untuk mengejaq ketinggalanku selama ini..

Aku memuji Allah atas taubat ini, atas kembalinya aku dan atas perbedaanku kini. Namun masih ada saudaraku nun jauh di sana, kedua matanya masih tertutupi, hatinya masih ternodai debu kemaksiatan dan dosa. Apakah aku membiarkannya? Aku menyingsingkan lengan bajuku: "Tak akan kubiarkan."

Di hadapannya api Neraka dan ancaman siksa, berbagai kesulitan dan hal-hal yang menakutkan...

Aku tidak akan membiarkannya, karena Allah telah memberiku petunjuk. Masih ada buku, masih ada kaset. Antara aku dengan dia, masih ada nasihat yang tulus...

Sumber: Perjalanan Menuju Hidayah karya Abdul Malik Al-Qasim (penerjemah: Abu Umar Basyir), penerbit: Darul Haq, cet. 1, Ramadhan 1422 H / Desember 2001 M. Hal. 233-239.

Baca juga:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar