mau ngiklan disini? klik gambar ini..

Senin, 03 Desember 2012

Sepenggal Kisah dari Negeri Syihr


Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

"Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Rabbmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan." (QS. Az-Zukhruf: 32)

Perjalanan hidup saya sebagai penuntut ilmu di Yaman telah mengantarkan saya untuk mengenal orang dengan berbagai latar belakang. Kali ini saya akan menceritakan kisah hidup dua orang teman sekamar saya di salah satu markiz (pusat ilmu/pesantren) di Yaman. Sebut saja namanya Abdullah dan Abdurrahman.

Di sini kami belajar bersama, mengulang pelajaran bersama. Kadang di hari libur, kami keluar untuk makan di rumah makan sederhana yang tidak jauh dari markiz untuk mengurangi rasa bosan dengan makanan markiz.

Di akhir pekan, terkadang sebelum tidur, kami sering saling bercerita. Bercerita tentang daerah asal kami, tentang keluarga, tentang perjalanan hidup, tentang banyak hal.

Ketika mereka bercerita tentang keluarga, ada satu perkara yang membuat saya tertegun. Abdullah dan Abdurrahman adalah dua orang anak yang tumbuh tanpa bapak.

Abdullah adalah anak seorang komandan tentara di Aden yang ketika itu menjadi ibukota Republik Yaman Selatan yang sosialis. Meskipun ketika itu Yaman Selatan adalah negara sosialis-komunis yang melarang pegawai negeri dan militer untuk menampakkan agamanya, ayah Abdullah adalah seorang yang shalih. Di setiap Jum’at dia pulang ke kampungnya di Yafi’ untuk memberikan khutbah Jum’at.

Allah selanjutnya menakdirkan Yaman Utara dan Yaman Selatan bersatu di tahun 1990.

Persatuan ini tidak berlangsung lama. Bulan Mei 1994, pecahlah perang saudara antara Yaman Utara dan Yaman Selatan. Ketika berusaha mempertahankan Aden dari serangan tentara utara, ayah Abdullah gugur. Ketika itu usia Abdullah baru sepuluh tahun. Sejak itu Abdullah hanya diasuh ibunya yang memutuskan untuk tidak menikah lagi dengan bantuan dari saudara-saudara ayahnya.

Alhamdulillah, dengan bimbingan yang baik dari ibunya, Abdullah tetap tumbuh menjadi seorang pemuda yang shalih. Dia adalah penuntut ilmu yang semangat, seorang hafizh, dan insya Allah dalam waktu dekat ini dia akan menikah dan memulai hidup barunya di Saudi Arabia, mengikuti abang-abangnya yang sudah mapan di Saudi. Semoga Allah memudahkan urusan beliau.

Adapun Abdurrahman... Ayah Abdurrahman adalah seorang qabilah, ketua suku. Ketika ibunya sedang mengandungnya, terjadi konflik bersenjata antara qabilah bapaknya dengan qabilah yang lain. Perlu diketahui bahwa Yaman adalah negara bebas senjata. Di kampung-kampung kita bisa melihat banyak laki-laki dewasa menenteng senjata senapan AK buatan Rusia, atau membawa revolver di sabuk pinggang mereka.

Ayah Abdurrahman pun berusaha megusahakan perdamaian dengan bertemu kepala suku yang sedang terjadi konflik tadi. Mereka berjanji untuk bertemu di satu tempat.

Kepala qabilah yang lain itu adalah seorang yang sangat tua. Dia begitu berwibawa dan disegani. Rombongan Ayah Abdurrahman akhirnya menemui sang qabilah beserta para pengawalnya.

Perundingan ternyata tidaklah berjalan lancar. Sampai akhirnya mereka beradu mulut dan berakhir saling tembak. Ketua qabilah tua tadi pun tewas tertembak tanpa ada yang tahu siapa yang menembak, karena suasana sudah begitu kacau. Ayah Abdurrahman dan para pengawalnya kemudian melarikan diri meninggalkan tempat itu.

Qabilah yang keala sukunya terbunuh pun kemudian berkumpul. Mereka lalu berkonvoi ingin melakukan pembalasan dengan membantai qabilah ayah Abdurrahman.

Alhamdulillah, sebelum terjadi pembalasan dendam itu berhasil dicegah oleh tentara pemerintah. Kemudian mereka pun berunding dengan dimediasi oleh pemerintah. Qabilah musuh meminta agar pelaku penembakan terhadap kepala suku diqishash (dihukum mati). Qabilah Abdurrahman juga sepakat kalau pelakunya harus diqisash. Tapi permasalahannya siapa yang menembak pertama kali? Siapa pula yang menembak kepala suku sampai mati? Suasana waktu itu benar-benar kacau sehingga pelakunya tidak bisa diketahui.

Perundingan itu mengalami jalan buntu, sampai-sampai hampir terjadi peperangan lagi di antara mereka.

Sampai akhirnya, untuk menjaga agar tidak terjadi pertumpahan darah yang lebih banyak, Ayah Abdurrahman merelakan diri untuk diqishash. Dihukum bunuh sebagai ganti darah kepala suku yang terbunuh.

Meski awalnya qabilah Abdurrahman tidak menyetujui keputusan sang ayah, akhirnya demi menjaga jiwa banyak orang mereka pun merelakan ayah Abdurrahman untuk di bawa ke ibukota Shan’a untuk dieksekusi.

Abdurrahman pun akhirnya lahir dan tumbuh tanpa ayah. Sampai sekarang, usianya menginjak 20 tahun, dia belum pernah sekali pun melihat ayahnya. Dari kabar yang dia terima, sebenarnya ayahnya tidak jadi dieksekusi karena hakim tidak melihat ada bukti kalau dia yang membunuh. Tapi ayahnya tetap ditahan di penjara karena kalau kembali ke qabilahnya, akan terjadi kembali pertumpahan darah.

Ibu Abdurrahman tidak menikah lagi. Dia memilih untuk membesarkan anak-anaknya sendiri. Tahun kemarin Abdurrahman telah menyelesaikan hapalan Al Qurannya. Kini dia pun semakin menyibukkan dirinya dengan berbagai pelajaran di Pondok.

Dua orang sahabat yang begitu berharga dengan kisah hidup yang mengharukan. Bersyukurlah kita yang tumbuh dengan bimbingan kedua orang tua kita. Dan bagi para ummahat yang terpaksa menjadi single parent, janganlah pernah patah semangat dalam mendidik anak-anak. Memang sulit untuk membesarkan anak sendiri. Tapi dengan kesabaran, ketelatenan, dan senantiasa berdoa meminta bantuan dari Allah, niscaya anak-anak itu akan tumbuh menjadi anak yang shalih dan berbakti kepada orang tuanya.

(Ditulis oleh salah seorang pelajar Indonesia di Darul HaditsSyihr, Yaman)

Sumber: Majalah Qudwah edisi 02, vol. 01/1433 H/2012, hal. 92-95.

Baca juga:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar