Kumpulan tanya jawab agama, kisah nyata, kesehatan, sains, tekno, berkebun, tips praktis, dan serba-serbi info lainnya.
Senin, 24 September 2012
Namaku Afu, Saya Tiong Hoa & Saya Muslim! (Bag. 1)
Saya seorang berketurunan Tiong Hoa, sebut saja Afu (bukan nama sebenarnya). Lahir pada tahun 1977 di Makassar, tepatnya di jalan Buru kecamatan Wajo. Kemudian selalu berpindah-pindah, walaupun masih juga di daerah Makasar. Kami 7 bersaudara dengan saya sebagai anak kelima, satu-satunya anak laki-laki.
Orang tua saya mengikuti aliran Konghucu. Keadaan saya persis seperti yang beliau Rasulullah shallallahu 'alaihi wassalam sabdakan yang artinya, "Setiap anak lahir di atas fitrahnya, tetapi dua orang tuanya yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.". (HR. Al Bukhari dan Muslim dari shahabat Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu).
Masa kecil saya hampir seharian terisi dengan kegiatan bermain di luar rumah. Hal ini disebabkan kesibukan bapak menjahit dan ibu jaga toko, mereka pun bukan dari keluarga yang memerhatikan pendidikan. Adapun teman-teman, ada yang dari keluarga muslim dan mayoritas dari keluarga non muslim.
Memasuki umur 6 tahun, saya disekolahkan di SDN Irian, Makassar. Untuk pelajaran agama, saya mengikuti ajaran agama Budha sebagaimana orang-orang keturunan cina lainnya. Karena dahulu Konghucu tidak diakui sebagai agama di Indonesia. Sebab lain, karena keserupaan antara dua kepercayaan ini.
Saat kelas 5 SD kami pindah ke jalan Sibula Dalam, kecamatan Bontoala. Lingkungan itu mayoritas muslim, namun masih perlu banyak perbaikan dalam amalan keislaman. Setelah tamat dari SD, saya masuk ke SMP Hang Tuah. Ini merupakan kepindahan yang kesekian kaki, walau begitu, saya masih di jalan yang sama. Di Hang Tuah, karena bidang studi agama yang tersedia hanya Islam dan Nasrani, maka saya memilih mengikuti pelajaran agama Nasrani. Supaya tetap mendapatkan nilai, juga karena tidak adanya pengingkaran berarti dari pendeta terhadap aliran orang tua saya.
Selama tinggal di jalan Sibula Dalam, saya lebih banyak bergaul dengan anak-anak muslim. Apalagi di usia SMP. Namun, mereka masih jauh dari nilai-nilai keislaman; jarang shalat, terbiasa berjudi, minum minuman keras, dan senang berkelahi. Bahkan mereka pernah mencuri ayam saya, teman mereka sendiri, walaupun setelahnya mereka tetap membayarnya.
Awal Hidayah
Di usia remaja ini, pergaulan saya boleh dikatakan dengan anak-anak. Namun, Alhamdulillah, saya dikenal oleh teman-teman sebagai seorang yang polos lagi sangat jujur. Tidak pernah terlibat dengan kenakalan yang mereka lakukan.
Base camp kami di sebuah tempat pencucian mobil berjarak 5 rumah dari rumah saya. Tempat pencucian mobil ini sekaligus menjadi lahan mendapatkan kebutuhan hidup teman-teman. Pencucian mobil ini milik seorang bapak haji yang selalu shalat di awal waktu. Secara khusus setelah Zhuhur, beliau menyempatkan duduk mendengarkan siaran radio ceramah salah seorang dai kondang yang baru populer saat itu.
Semuanya berjalan tanpa sengaja, kejadian ini memberi bias pada jiwa saya. Bias cahaya itu pun semakin membesar. Saya mulai sering mencari gelombang siaran dakwah lewat radio itu dan mendengarnya di rumah. Bapak-ibu setengah heran dengan perbuatan saya ini. Tapi mereka tidak menanggapi dengan serhus. Karena bagi mereka hal itu tidak mengapa, asalkan tidak masuk Islam saja.
Tidak lama waktu berlalu, secara diam-diam saya mempelajari Islam lewat buku. Saya juga sering memerhatikan salah satu pesantren yang tidak jauh dari tempat kami.
Di kelas III SMP menjelang EBTANAS, Allah memudahkan lisanku untuk mengucapkan dua kalimat syahadat. Saya mengucapkannya di kamar yang hanya Dia-lah yang menjadi saksinya. Kemudian untuk formalnya, saya mendatangi rumah pimpinan pesantren tersebut. Kepada pimpinan pesantren itu saya meminta dituntun mengucapkan dua kalimat syahadat. Kyai takjub dengan usiaku yang baru 14 tahun berani mengambil keputusan sendiri.
Setelah menanyakan beberapa hal kepadaku, beliau pun menuntunku mengucapkan kalimat kunci keislaman. Lalu beliau membuatkan surat pernyataan masuk Islam. Sebagai saksi adalah salah seorang guru di pesantren tersebut. Maka, seiring berbaliknya keadaanku dari agama kafir kepada keimanan, pemimpin pesantren tersebut memberikan nama Islami kepadaku.
Kisahku Mengerjakan Shalat
Sebagaimana yang lalu saya ceritakan, bahwa sebelum datang ke pimpinan salah satu pondok pesantren di Makassar tersebut, saya telah mengucapkan dua kalimat syahadat sendiri. Dengan Allah al-Ahad (Yang Maha Esa) sebagai saksinya. Ini saya lakukan dengan membaca lafal latin syahadatain dari buku tuntunan shalat. Buku itu saya sembunyikan dalam lemari di antara pakaianku.
Secara sembunyi-sembunyi, saya senantiasa menelaah buku tersebut. Sampai saya mengetahui hukum shalat lima waktu adalah wajib. Berpahala bagi yang melakukannya, berdosa dan mengundang murka Allah atas siapa yang meninggalkannya. Shalat mempunyai syarat sah, rukun, wajib dan sunnah. Saya pun mengetahui melalui melihat kebiasaan kaum muslimin, juga melalui buku ini, bahwa sebelum shalat kita diwajibkan berwudhu. Bahwa wudhu sebagai syarat sah shalat, demikian pula wajib sucinya pakaian dan tempat sebagai syarat sah shalat.
Waktu shalat tiba, saya berwudhu di rumah orang tua tanpa sepengetahuan mereka. Di rumah, saya sangat menjaga diri dari najis, khususnya bekas-bekas babi yang merupakan makanan istimewa orang tua, yang tiada pekan tanpa makan babi. Setelah berwudhu, saya masuk kamar kakak, sebab saya sendiri tidak punya kamar khusus. Saya menguncinya lalu mengerjakan shalat. Sesekali saya membaca bacaan shalat dengan tulisan latin dari bahasa Arabnya, namun lebih sering saya gunakan bahasa Indonesia, membaca terjemahan yang ada di bawah bacaan Arabnya.
Diganggu Jin
Hal yang baru pertama kali menjadi pengalaman hidup saya, saat saya sedang shalat dalam kamar, badan saya dibelokkan dari arah kiblat. Hal itu terjadi di semua posisi shalat selain rukuk dan sujud. Ketika saya berusaha mengembalikan ke posisi yang benar, tulang dalam tubuh terasa sakit. Semakin saya berusaha untuk mengembalikan ke arah kiblat, semakin sakit. Padahal, saya mengetahui bahwa di antara syarat sah shalat harus menghadap kiblat. Mendapatkan keadaan seperti itu, saya selalu mengulangi shalat. Anggapan saya, shalat tidak sah sebab tidak menghadap kiblat saat berdiri baca al-Fatihah (terjemahan), i'tidal, duduk di antara dua sujud, maupun tasyahhud.
Terus saya ulangi, sampai saya berkeyakinan bahwasanya Allah Maha Pemurah, tidak akan membebaniku lebih dari kemampuanku. Sejak saat itu, jikalau dalam shalat terjadi hal yang sama, saya tidak pedulikan dan tetap meneruskan shalat. Walaupun seringkali dalam posisi tasyahhud badan berputar sampai 180 derajat. Keadaan ini tidak saya ceritakan kepada siapa pun karena khawatir ketahuan masuk Islam.
Beberapa hari kemudian, ketika berkumpul dengan teman-teman, seringkali tiba-tiba saya menjadi pincang dalam berjalan. Terutama menjelang Maghrib, lalu normal kembali. Ketika saya sampaikan kepada seseorang yang saya harapkan bisa mengobati, malah leher saya dipermainkan oleh jin. Keadaan ini saya alami dua pekan sampai akhirnya berlalu dengan seizin Allah.
Awal Terlihat Shalat Oleh Orang Lain
Dari buku yang sama, saya mengetahui bahwa hukum shalat Jum'at adalah fardhu 'ain. Allah Subhanahu wa Ta'ala pun mengancam akan mengunci hati siapa yang meninggalkannya. Ini berarti orang lain akan tahu kalau saya mengerjakan shalat. Akhirnya saya berkesimpulan bahwa harus mengambil resiko dibandingkan celaka di kehidupan yang kekal nanti. Sebisa mungkin saya memilih teman yang nampak taat melakukan shalat Jum'at. Namun sesuai takdir Allah, hal ini sangat mudah ketahuan. Karena teman ini membawa sajadah membonceng saya dengan motornya. Akhirnya pembicaraan dari mulut ke mulut mulai tersebar.
Ketahuan Orang Tua
Seiring perjalanan waktu, sesuai dengan takdir Allah, tanpa saya sadari ternyata orang tua sudah mulai curiga. Mereka selalu mengawasi, hingga akhirnya menangkap basah saya sedang shalat. Dengan memanjat, mereka mengintip dari lobang angin kamar, kemudian meneriakiku.
Mulai saat itulah masa-masa pertikaian saya dengan keluarga. Setelah sempat beberapa hari meninggalkan rumah, akhirnya orang tua menyuruh saya pulang. Namun, keadaan di rumah yang sulit menghindari najis, membuat saya sangat berat. Saya pun memilih lebih banyak di masjid.
Mendapatkan Kawan di Masjid
Selama 1 tahun, saya makan, minum, dan tidur tanpa menentu. Sesuai dengan rencana Allah, saya dipertemukan dengan teman-teman yang baik di masjid. Ada seorang kawan yang sempat mengajariku Iqra' kira-kira 3 hari. Ada pula dua orang kawan yang sering bermalam di masjid bersamaku.
(Bersambung, insya Allah)
Baca kisah kelanjutannya: DI SINI.
Sumber: Majalah Qudwah edisi 01 vol. 01/1433 H/2012, hal. 85-88, judul asli: Kisah Secercah Hidayah di Dalam Qalbu.
Baca juga:
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar